Beransur, Jakarta 1 november 2025 – Fenomena fotografer yang secara diam-diam memotret orang di ruang publik, terutama saat berolahraga, tengah menuai kontroversi panas di media sosial. Praktik ini memicu perdebatan serius antara kreativitas fotografi dan pelanggaran privasi.
Belakangan ini, sejumlah unggahan viral menunjukkan foto-foto individu yang diambil tanpa izin di area publik seperti taman dan jalur lari. Ironisnya, foto-foto tersebut kemudian dijual melalui aplikasi berbasis kecerdasan buatan (AI). Aplikasi ini populer di kalangan pelari karena memudahkan mereka mendapatkan potret diri berkualitas tinggi saat sedang berolahraga.
Namun, masyarakat mulai menyatakan rasa tidak nyaman dan kekhawatiran yang mendalam terkait privasi mereka. Mereka merasa rentan karena kini banyak fotografer yang bisa mengambil potret tanpa sepengetahuan dan izin dari objek foto.
Peringatan Komdigi: Foto Tanpa Izin Bisa Berujung Gugatan
Menanggapi gejolak ini, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) angkat bicara dan menegaskan bahwa masyarakat yang merasa privasinya dilanggar memiliki hak penuh untuk mengajukan gugatan hukum.
Direktur Jenderal Pengawasan Digital Komdigi, Alexander Sabar, menjelaskan bahwa foto seseorang yang menampilkan wajah atau ciri khas individu termasuk dalam kategori data pribadi. Hal ini karena foto tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi seseorang secara spesifik.
“Masyarakat memiliki hak untuk menggugat pihak yang diduga melanggar atau menyalahgunakan data pribadi, sebagaimana diatur dalam UU ITE dan UU Pelindungan Data Pribadi (UU PDP),” jelas Alexander, dikutip dari Teknologi.id, Jumat (31/10).
Oleh karena itu, fotografer wajib mematuhi aturan hukum dan etika yang berlaku saat mengambil maupun memublikasikan hasil foto mereka.
Aturan Hukum yang Wajib Dipatuhi
Sesuai dengan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), setiap proses pengambilan, penyimpanan, atau penyebarluasan data pribadi—termasuk foto—harus memiliki dasar hukum yang sah. Salah satu dasar hukum yang utama adalah melalui persetujuan eksplisit dari pihak yang difoto.
Alexander Sabar secara tegas memperingatkan para pelaku komersialisasi foto tanpa izin:
“Fotografer tidak boleh mengomersialkan hasil foto tanpa izin dari orang yang menjadi objek dalam foto tersebut,” tegasnya.
“Setiap kegiatan pemotretan dan publikasi foto wajib memperhatikan aspek etika dan hukum pelindungan data pribadi,” imbuhnya.
Langkah Komdigi Selanjutnya
Untuk mencegah terulang kasus serupa di masa depan dan membangun ekosistem digital yang adil, Komdigi berencana mengambil beberapa langkah strategis:
Mengundang perwakilan fotografer, asosiasi, dan platform digital untuk memperkuat pemahaman mengenai hukum dan etika fotografi di era digital, khususnya yang melibatkan teknologi AI.
Mendorong peningkatan literasi digital di kalangan masyarakat agar semakin sadar pentingnya etika penggunaan teknologi, pelindungan data pribadi dalam fotografi, serta pemanfaatan AI generatif.
Alexander Sabar menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa langkah ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk membangun ekosistem digital yang aman, beretika, dan adil bagi semua pihak.
#beransur #ekosistem #digital #teknologiAi #AI #fotografer #komdigi #masyarakat #hukum
